Oleh Rinto Namang
PMKRI sudah ada sejak 1947, sudah 77 tahun usianya sejak diproklamasikan eksistensinya pada Hari Raya Roh Kudus Turun Atas Para Rasul dan Bunda Maria.
Sudah 32 kali PMKRI ber-kongres, sebanyak 31 kali ber-MPA, melewati lintasan sejarah Republik mulai dari era revolusi kemerdekaan, masa demokrasi terpimpin, terlibat dalam dinamika politik 65, menjadi salah satu kelompok determinan dalam pendirian Orde Baru, hingga masuk dalam Reformasi dan sekarang demokrasi, belum pernah ada satu putri/putra asli Papua yang menjadi Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI sementara dari tempat lain begitu banyak.
Sependek ingatan kami, ada beberapa kader PMKRI dari Papua pernah bertarung di MPA tetapi belum pernah sekalipun menang. Tahun 2006 ketika MPA diselenggarakan di Jayapura Hieronimus Hilapok (cabang Jayapura) kalah head to head melawan Tommy Jematu (cabang Jakarta Timur); MPA Palembang 2018 Yusuf Hubi (cabang Manokwari) kalah dari Juventus Prima (cabang Kupang); dan yang terakhir, kalau boleh dihitung, Ricky Air (anak muda Papua dari cabang Bandung) kalah melawan Benediktus Papa (cabang Makassar) di MPA Ambon.
Sudah tentu Kongres & MPA bukan semata-mata & satu-satunya ajang untuk menyukseskan suksesi kepemimpinan nasional. Suksesi kepemimpinan hanya salah satu agenda dari sekian banyak agenda yang mengevaluasi & menemukan inovasi-inovasi untuk mengembangkan perhimpunan agar semakin relevan dengan tuntutan keadaan kita terutama pada aspek kaderisasinya.
Namun, sangat sering momen Kongres & MPA para peserta membicarakan & menjajak kader potensial yang akan menahkodai perhimpunan karena sehebat apapun program yang dihasilkan akan layu sebelum berkembang kalau salah pilih nahkoda. Apalagi kalau nahkoda yang tidak dibekali pengetahuan teoretis juga teknis akan sangat gampang dituntun oleh dikte kekuasaan yang pada gilirannya meninggalkan aspek-aspek yang sudah disepakati di dalam Kongres.
Sampai hari ini, kita tidak melihat ada kader yang serius maju dengan mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, kecuali yang banyak beredar di medsos berupa poster yang bikin sakit mata. Artinya, tidak ada lembaga tertentu di dalam perhimpunan yang secara khusus menggodok, menyaring, dan mempersiapkan kader untuk maju. Verifikasinya berlangsung di arena Kongres dalam dinamika, itu artinya siapa saja peserta boleh maju sejauh dimungkinkan dan tidak dibatalkan. Dengan lain perkataan, tidak ada suatu konsep kaderisasi kepemimpinan yang terinstitusionalisasi secara sungguh-sungguh di dalam perhimpunan.
Oleh karena tidak ada kader yang bakal bertarung berdasarkan saringan yang serius, maka kasak-kusuk di group-group WA mulai riuh, bisik-bisik di warung kopi mulai memantulkan gemanya hingga ke mana-mana. Yang paling menohok batang leher orang orang di jantung ibu kota adalah usulan agar ada kader PMKRI yang asli Papua, bukan karbitan, yang menjadi Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI! Sekali lagi, ini hanya bunyi dari gema yang memantul.
Tetapi segera ada nada sumbang yang berusaha menjegal, memantulkan gema itu ke tempat lain. “Lha, kan selama ini dia tidak pernah kedengaran namanya”; ” Kamu cocok jadi sekjen saja.” Ini contoh nada sumbang yang bikin dongkol.
Kita tidak pernah tahu, barangkali mereka nun jauh di sana sedang mempersiapkan secara serius kader-kader terbaiknya untuk bertarung. Diam, berjalan pelan seperti wombat yang terus menggali di bawah tanah, tetapi akan meruntuhkan dominasi mereka-mereka yang bermain di permukaan yang terlalu asyik tersorot lampu ibukota.
Tanggal 7 Juli 2024 PMKRI kembali menghelat Kongres ke-33 & MPA ke-32 di Merauke, Papua Selatan. Soal pelanggaran HAM akan mengemuka, juga soal kerusakan ekologis yang meliputi pembabatan hutan belantara untuk kepentingan pembangunan infrastruktur hingga peminggiran kelompok masyarakat adat tanpa dialog dari hati ke hati, akan dibahas dalam perdebatan, dan bisa jadi alot. Semuanya itu akan dikaji dan jadi program yang fokus kalau dieksekusi oleh orang yang tepat, yang paham keadaan tentang Papua, yang mengenal dan mengalami Papua secara langsung.
“Pembangunan berkelanjutan perlu memperhatikan aspek lingkungan, secara khusus kami di tanah Papua. Siapapun yang menakhodai PMKRI ke depan, tolong bawa kami bersama kalian. Apapun yg terjadi di tanah Papua, jadikan diskusi menarik untuk anda,” demikian sambutan Ketua Presidium PMKRI Cabang Merauke Susana Florika Kandaimu.
Sambutan ini, selain mengajak PMKRI secara nasional untuk menempatkan Papua sebagai sentrum kajian strategis nasional serentak menuntut kita untuk tidak menjadikan kader-kader Papua hanya sebagai orang yang menanti remah roti yang jatuh dari meja perjamuan para tuan, tidak dianggap dan diperhitungkan! Toh, selama ini cabang-cabang di Papua hanya diperhitungkan sebagai barisan penambah suara, selebihnya tidak!
Kita berharap momen kongres/MPA bisa memperdengarkan kicauan lembut dan indah dari putri/putra Cendrawasih setelah 2006 di Jayapura (dan 2016 di Fak-fak yang belakangan dipindahkan ke Cibubur) yang akan melanjutkan kepemimpinan nasional perhimpunan ini selama 2 tahun ke depan. Ini momen 20 tahun sekali, sayang jika menguap menjadi rutinitas 2 tahunan yang sudah bisa ditebak ujungnya.
Semoga Roh Kudus yang sama yang mendirikan perhimpunan 77 tahun silam, juga menghembuskan energi positif dari Merauke sehingga muncul kicau Cendrawasih yang sudah lama dirindu dan dinanti.
Saya teringat lirik lagu Blackbird dari band ternama asal Inggris The Beatles. “Blackbird singing in the dead of nightTake these broken wings and learn to flyAll your lifeYou were only waiting for this moment to arise.”
Ini momen yang tepat untuk muncul (arise), ataukah harus menanti (waiting) 20 tahun lagi.
𝙍𝙞𝙣𝙩𝙤 𝙉𝙖𝙢𝙖𝙣𝙜 (𝙈𝙖𝙣𝙩𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙩𝙪𝙖 𝙋𝙧𝙚𝙨𝙞𝙙𝙞𝙪𝙢 𝙋𝙈𝙆𝙍𝙄 𝘾𝙖𝙗 𝙅𝙖𝙠𝙖𝙧𝙩𝙖 𝙋𝙪𝙨𝙖𝙩)